Senin, 14 Juli 2008

FILSAFAT UMUM

Dalam teori kepribadian yang dikemukakan Sigmund Freud, sistem kepribadian terdiri dari tiga; id, ego dan super ego. Ego merupakan sistem yang berfungsi untuk menyalurkan dorongan naluri (id) ke keadaan yang nyata[1]. Dengan kata lain, ego merupakan ekspresi diri dihadapan realitas. Sifat dimana seseorang melihat dan mementingkan dirinya secara berlebihan daripada realitas di hadapannya disebut dengan egois. Namun definisi yang lainnya -dalam kaitannya dengan topik kita- adalah sebagaimana yang dikemukakan Muthahari, bahwa ego artinya mengakui adanya pembatasan atau penyempitan[2]. Manusia mengakui adanya batasan, dan ia selalu menghendaki apa yang ada di luar batasan dikorbankan untuk apa yang ada di dalam batasan.

Para ahli psikologi mengakui bahwa ego merupakan salah satu karakter dasar manusia. Menyalurkan kebutuhan individualnya terhadap objek di luar dirinya merupakan ekspresi dari keberadaannya. Bahkan kemudian sebagian filosof mengembangkannya menjadi aliran filsafat tersendiri. Mereka percaya bahwa segala perbuatan manusia hanya bertujuan untuk kepentingan individualnya sendiri. Tidak mungkin manusia melakukan suatu perbuatan untuk orang lain. Faham ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan faham materialisme yang mengatakan bahwa manusia berasal dari materi dan bertujuan hanya untuk materi. Bertrand Russel, filosof penganut faham ini, bahkan mengatakan bahwa sistem etika yang disepakati masyarakat sebenarnya merupakan pertahanan diri untuk menjaga kepentingan individualnya dari benturan antar ego; “Bila saya mencuri dari tetangga saya, maka tetangga itu pun bisa melakukan hal yang sama terhadapku, oleh karena itu maka saya harus baik dengan mereka”. Tetapi bagi pihak yang merasa mampu untuk melindungi dirinya dari reaksi, mereka akan mengejar kepentingannya dengan mengorbankan pihak lain. Faham ini sejalan dengan analisa Darwin, Survival for the fittest, hanya yang kuat yang berhak untuk hidup.

Ego, menurut Muthahari, sebenarnya terbagi menjadi beberapa jenis[3]; Sebagian orang sangat angkuh dan egois, mereka adalah orang yang menggambar dirinya sebagai pusat dan menempatkan orang lain di luar batas lingkarannya.

Kedua, ego keluarga dan kelompok, lingkaran yang dibuat oleh manusia jenis ini telah lebih luas lagi yang melibatkan anak, istri, saudara-saudara dan anggota kelompoknya. Ia boleh berbuat baik, tetapi hanya dalam batas lingkungan keluarga dan kelompoknya, tetapi prinsipnya tetap sama, bahwa apa yang ada di luar batas lingkungannya kalau perlu dikorbankan untuk merebut kepentingannya. Contoh yang mudah dilihat dari kelompok yang mempraktekan jenis ego ini adalah Amerika, Prancis, Inggris dan bangsa-bangsa besar lainnya. Slogan HAM, Perdamaian, Kemanusiaan yang mereka teriakan adalah slogan yang mereka injak sendiri di Vietnam, Timur Tengah, Irak, dan bangsa-bangsa lemah lainnya demi menjaga dan mendapatkan apa yang mereka inginkan.

Membiarkan ego tumbuh dan berkembang menjadi kekuatan yang mengatur kehidupan sebagaimana rekomendasi Russel maupun Nietsze tentu sangat membahayakan kehidupan beragama bahkan kehidupan masyarakat itu sendiri. Berbeda dengan mereka, dalam Hindu dan Budha, ego mesti ditekan dan kalau bisa dihilangkan. Namun dalam Islam, keberadaan ego tetap diakui, namun dijaga dan diatur sehingga tidak berkembang menjadi Illah bagi manusia. Seorang Muslim harus sadar dengan keberadaan dirinya di tengah realitas. Namun keberadaanya hanya ada karena Allah yang menciptakan dirinya. Di hadapan Allah, ia adalah makhluk hina yang senantiasa menyungkurkan muka ke tanah sebagai bukti kerendahan dan pengabdian. Ia adalah makhluk yang dibuat dari setetes air hina…bukanlah apa-apa, tidak ada yang dimilikinya selain kelemahan dan ketidakmampuan.

Manusia memang diciptakan lebih mulia dari makhluk lainnya sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an, namun itu dimaksudkan untuk menolak alasan mempertuhankan makhluk lainnya. Sehingga dapat dibayangkan betapa jahilnya orang yang mepertuhankan batu, pohon, matahari, uang dan segala makhluk lainnya, karena sebenarnya manusia jauh lebih mulia dari itu semua. Di tengah sesamanya, semua manusia sederajat, tidak ada sedikitpun kelebihan satu sama lain kecuali karena ketakwaannya kepada Allah. Pemuliaan dan penghormatan diri dalam konteks ketakwaan adalah menjaga diri dari perbuatan hina yang merendahkan derajat kemanusiaanya. Ali bin Abi Thalib juga mengatakan, “Seorang yang memahami dan merasakan kemuliaan dirinya akan menilai syahwat tidak berharga di hadapannya”.

Bila manusia harus mempunyai alasan untuk setiap aktivitasnya, maka perbuatan dan tindakan untuk pemenuhan kebutuhan dirinya sendiri juga adalah fitrah bagi manusia. Dalam Islam, aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhannya dilakukan dalam kerangka ketaatan kepadaNya. Ia harus meyakini bahwa dirinya akan menghadapi Hari Pengadilan kelak. Manusia telah diberi panduan oleh Tuhannya untuk membedakan perbuatan mana yang harus, boleh, dan tidak boleh dilakukannya beserta konsekwensinya masing-masing. Dengan begitu, ia akan menyadari dan bertanggung jawab sepenuhnya atas segala tindakan yang dilakukannya.

Keberadaan ego dalam kehidupan seorang Muslim benar-benar harus diperhatikan dan diawasi. Seringkali seorang Muslim memenangkan pertempurannya dengan Syaithan yang membisiki perbuatan mungkar atau mempertuhankan makhluk lainnya. Namun ia kalah atas dirinya sendiri, sebagaimana yang dikatakan Rumi, berhala yang paling besar adalah berhala dirinya sendiri. Ego yang berkembang menjadi hijab yang menghalangi dia dengan Tuhannya akan menyebabkan seorang tidak akan mampu untuk memberikan pengabdian sepenuhnya apalagi tenggelam dalam kecintaan kepadaNya.

Ego yang berkembang tak terkendali akan menyebabkan berbagai penyakit hati. Bahkan boleh dikatakan bahwa ego adalah nenek moyang segala penyakit tersebut. Dari melihat dan menilai diri secara berlebihan, timbulah sifat ujub (membagakan diri) dan kibir (sombong). Merasa lebih dari yang lain; merasa lebih benar, lebih kaya, lebih pintar, lebih baik, lebih berkuasa dan segala kelebihan lainnya. Seorang yang membanggakan dirinya membuat ia menjadi sombong. Dan bila penyakit ini telah bercokol di hati, menerima nasihat orang lain akan dianggap sebagai merendahkan kredibilitasnya, dan untuk mengangkat dirinya ia harus merendahkan orang lain, sebagaimana sabda Rosulullah, “Sombong itu menolak kebenaran dan merendahkan manusia..” (H.R. Muslim). Dari usaha merendahkan orang lain, maka timbul sifat iri dan dengki. Untuk itu, maka seorang Muslim hendaknya tawadu dalam bergaul. Sifat tawadu merupakan obat penyakit hati tersebut. Namun harus diingat bahwa obat ini pun jangan sampai tercemar penyakit membahayakan ini. Syaikh Ahmad Atailah mengatakan bahwa tempat tawadu adalah hati, merasa diri tawadu merupakan sifat ujub apalagi bila dipamerkan di hadapan makhluk, maka timbulah penyakit komplikasi lain; riya[4].

Islam sebagai sebuah way of life tentu tidak lepas peranannya di dalam kelompok sosial. Kaum Muslimin sebagai sebuah masyarakat Islam juga harus menyadari dan mengekspresikan eksistensi mereka di tengah-tengah kaum lainnya. Pada masa Rosulullah, Nabi SAW dan para sahabatnya membedakan dirinya dari Ahlul Kitab dan Musyrikin dengan memberikan ciri-ciri yang khas seperti memelihara janggut dan mencukur kumis. Pembedaan ini mempunyai maksud sebagai syiar[5]. Allah juga berfirman dalam Al-Qur’an bahwa umat Muslimin adalah umat yang terbaik, namun kemuliaan mereka adalah karena keimanan dan amar ma’ruf nahi munkar yang mereka lakukan[6], bukan semata-mata pemberian Tuhan dan menganggap umat lain sebagai budak seperti yang selama ini diyakini Yahudi. Islam mengajarkan umatnya untuk berlaku adil terhadap non Muslim. Islam adalah rahmatan lil aalamin, bukan rahmat yang diperuntukan bagi pengikutnya saja, melainkan rahmat bagi semesta alam. Bila ego adalah pembatasan bagi individu, keluarga atau kelompok sendiri, maka dalam Islam batas tersebut diperluas hingga bagi semesta alam.

Namun, Kemuliaan diri (izzah) harus tetap harus dimiliki kaum Muslimin. Allah berfirman, Kemuliaan hanyalah milik Allah, RasulNya dan orang beriman. Orang Mukmin harus selalu memperhatikan kemuliaaannya dengan selalu menjaga tetap berjalan di atas garis yang telah ditetapkan Allah dan RosulNya. Bahkan walau untuk itu ia harus merelakan hidupnya. Karena mati dengan terhormat lebih baik daripada hidup menjadi hamba orang lain. Allah berfirman, Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah kamu bersedih hati, karena kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. (Q.S. Ali Imran:130).

Wallahu a’lam

1 komentar:

Anonim mengatakan...

salam Mbak Nenden, saya Sopyan dari www.sopyanmk.wordpress.com senang bisa lihat tulisan saya di upload di blog mbak. Boleh gak ada tulisan "dikutip dari ..." sekalian sama2 promosi gitu... hehehe